ZatPewarna Batik. Canting. Kompor. Dalam proses pembuatan batik dikenal ada tiga teknik, yaitu teknik cap, teknik tulis, serta teknik campuran cap dan tulis. Batik dengan teknik cap diperuntukkan dalam pembuatan batik dengan bentuk pengulangan motif. Proses pembatikan dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Nganji. Pemberian kanji setelah kain dicuci.
11 November 2016 - Kategori Blog Pewarna Batik Sintetis – Sebelumnya kita sudah membahas tentang bahan pewarna batik namun yang alami, dan sekarang saatnya kita membahas zat pewarna sintetis. Zat pewarna sintetis atau biasa juga disebut bahan pewarna buatan juga digunakan dalam pewarnaan kain batik, bahkan bisa dibilang sebagian besar pengrajin batik saat ini menggunakan bahan pewarna sintetis. Penggunaannya yang praktis dan mudah didapat di toko-toko bahan batik merupakan salah satu alasan banyak pengrajin batik sekarang memilih pewarna sintetis. Lagipula varian warna yang lebih beraneka ragam dibanding pewarna alami membuat para pengrajin batik lebih bisa mengeksplorasi warna dalam membatik. Memang tidak bisa dipungkiri dengan adanya zat pewarna sintetis kain batik membuat pewarna alami kain batik menjadi tergeser keberadaannya, namun hingga kini pewarna alami masih tetap digunakan para pembatik tertentu dikarenakan batik alami biasanya memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi di banding kain batik yang menggunakan pewarna sintetis. Zat pewarna sintetis merupakan zat pewarna yang dibuat dengan bahan-bahan kimia tertentu sehingga dapat digunakan untuk mewarnai kain atau tekstil. Memang ada banyak sekali zat pewarna sintetis yang dapat digunakan untuk mewarnai bahan tekstil, namun tidak semua pewarna sintetis dapat digunakan untuk membatik karena saat proses pewarnaan batik tidak boleh menggunakan proses pemanasan, jika pewarnaan dilakukan dengan pemanasan maka bisa dipastikan lilin/malam batik akan meleleh. Macam-macam Pewarna Batik Sintetis 1. Pewarna Napthol, zat pewarna sintetis ini digunakan dalam proses pewarnaan dengan teknik celup, terdiri dari dua bagian yang memiliki fungsi berbeda yakni napthol dasar dan pembangkit warna. Napthol dasar biasanya digunakan pertama kali dalam proses pewarnaan, pada pencelupan pertama ini warna belum terlihat dalam kain, untuk membangkitkan warna dalam kain dibutuhkan larutan garam diazonium sehingga akan memunculkan warna sesuai yang diinginkan. Secara teknis napthol tidak bisa larut dalam air, untuk melarutkannya biasanya para pengrajin menggunakan zat lain seperti kostik soda. 2. Pewarna Indigosol, zat warna Indigosol biasa digunakan untuk menghasilkan warna-warna yang lembut pada kain batik, dapat dipakai dengan teknik celup maupun colet kuas. Proses penggunaan zat warna Indigosol juga hampir sama dengan penggunaan Napthol, pencelupan dibutuhkan dua kali proses. Proses pertama sebagai pencelupan dasar dan yang kedua untuk membangkitkan warna. Warna akan dapat muncul sesuai yang diharapkan setelah dilakukan oksidasi, yakni memasukkan kain yang telah diberi Indigosol ke dalam larutan asam sulfat atau asam florida HCl atau H2SO4 ataupun Natrium Nitrit NaNO2. 3. Pewarna Rapid, merupakan salah satu zat pewarna yang biasa dipakai untuk membatik dengan teknik colet. Terdiri dari campuran napthol dan garam diazonium yang distabilkan. Untuk membangkitkan warna biasanya digunakan asam sulfat atau asam cuka. Pewarna batik sintetis lainnya yang berfungsi sebagai zat pembantu dalam proses pewarnaan batik diantaranya caustic soda, soda abu, TRO Turkish Red Oil, teepol, asam sulfat, asam chloride, kapur, tawas, obat ijo/air ijo dan minyak kacang. Menurut penulis menggunakan pewarna sintetis tidak bisa dibilang merusak atau merubah ketradisional-an budaya atau seni pembuatan batik, karena proses dalam pembuatan batik yang tradisional masih menggunakan canting dan malam khususnya batik tulis, walaupun memang sedikit merubah namun batik tidak hanya dinilai dari pewarna buatan bukan? sumber gambar bahan batik tulis, bahan pewarna batik sintetis, batik indonesia, batik tradisional, macam pewarna batik sintetis, macam pewarna sintetis batik, pewarna batik napthol, pewarna batik sintetis, pewarna napthol, pewarna sintetis tekstil, zat oewarna batik sintetis, zat pewarna sintetis
Macammacam Pewarna Batik Sintetis. 1. Pewarna Napthol, zat pewarna sintetis ini digunakan dalam proses pewarnaan dengan teknik celup, terdiri dari dua bagian yang memiliki fungsi berbeda yakni napthol dasar dan pembangkit warna. Napthol dasar biasanya digunakan pertama kali dalam proses pewarnaan, pada pencelupan pertama ini warna belum
meningkatkandaya saing produk batik Indonesia di pasar global. Kata Kunci : Zat warna alam, pencelupan, standar, resep, metode. Submit: 15 Maret, Accepted: 13 Mei Published: 27 Mei 2022 1. PENDAHULUAN Salah satu UMKM batik yang ada di Surakarta adalah UMKM yang ada di Kampung Batik Laweyan. Kampung Batik Laweyan menjadi ikon batik di Surakarta
Sehelai kain batik terdiri dari beberapa macam elemen yang berada di dalamnya, seperti corak, ketebalan kain, kehalusan kain, dan juga warna. Warna merupakan elemen terpenting karena mempengaruhi persepsi dan terkadang menjadi indicator utama asal muasal sebuah kain dan corak batik. Seperti contohnya adalah kain batik solo yang lebih banyak memiliki warna coklat sogan dan hitam. Mari kita kenali pewarnaan yang dipakai dalam industry batik, yang secara kategori terbagi menjadi dua, warna alami dan warna buatan atau sintetis. Pewarna alami merupakan pewarnaan pada batik yang didapat dari berbagai macam tumbuhan atau mahluk hidup yang ada di muka bumi. Jenis Pewarna Alami Kain Batik Berikut beberapa bahan yang dijadikan sebagai pewarna alami kain batik 1. Pewarna Alami Batik – Kunyit Pewarna alami kain batik yang pertama adalah kunyit. Kunyit dikenal sebagai bumbu dapur untuk memasak makanan atau juga untuk obat yang memiliki khasiat yang sangat banyak. Tidak hanya itu, kunyit ternyata juga dapat dijadikan pewarna untuk batik, yang banyak menghasilkan warna kuning pada batik. Biasanya yang diambil adalah rimpang dan umbi akarnya. 2. Pewarna Alami Batik – Indigofera Tanaman kedua adalah tanaman indigofera yang termasuk pada jenis tanaman perdu. Indigofera atau yang sering disebut indigo menghasilkan warna biru pada kain. Ketika tumbuh menjadi tanaman, indigo ini membentuk semak-semak dan berkembang dari bijinya. 3. Kulit Buah Jalawe Pewarna selanjutnya adalah kulit buah jalawe Terminalia Bellrica yang merupakan sangat populer dalam menjadi pewarna alami batik. Warna yang dihasilkan jalawe adalah coklat kehijauan yang sangat sering dijumpai pada batik dari daerah Jawa Tengah, khususnya di daerah Klaten dan Jogja. Selain menjadi pewarna batik, jalawe juga digunakan sebagai jamu tradisional. 4. Pewarna Alami Batik – Daun Teh Pewarna alami yang keempat adalah teh Camelia Sinensis adalah salah satu jenis tumbuhan yang biasanya digunakan sebagai bahan minuman. Daun teh biasanya digunakan sebagai bahan warna batik dengan warna cokelat khas daun teh. 5. Pewarna Alami Batik – Secang Tumbuhan kelima adalah secang Caesaslpinia Sapapan Lin yang merupakan tumbuhan rempah-rempah khas Indonesia. Warna yang dihasilkan kayu secang adalah warna merah yang diekstrak bagian batangnya. Merah dapat keluar setelah kayu secang diekstrak dari warna kuning. 6. Bawang Merah Tumbuhan keenam yang dapat dipakai sebagai bahan batik alami adalah bawang merah Allium Ascalonicium L yang dipakai untuk membuat masakan. Biasanya diambil bagian kulitnya yang dapat menghasilkan warna coklat jingga. 7. Buah Kelapa Tumbuhan ketujuh, adalah buah kelapa Cocos Nucifera yang banyak dijumpai di negara-negara tropis seperti Indonesia. biasanya serabut kelapa yang digunakan untuk diekstrak warnanya yang menghasilkan warna krem kecoklatan. 8. Kulit Buah Manggis Tanaman terakhir yang juga dapat dimanfaatkan sebagai pewarna batik alami, yaitu kulit buah manggis. Manggis tidak hanya buah yang lezat untuk disantap, tetapi juga bisa sebagai obat tradisional. Cara untuk mengekstrak warnanya adalh dengan ditumbuk kulit buahnya sampai halus dan direndam dengan ethanol. Warna yang dihasilkan adalah merah, ungu hingga kebiruan. Pewarna Buatan Kain Batik Untuk pewarna buatan, merupakan senyawa zat kimia yang dibuat untuk menghasilkan sebuah warna. Seperti halnya pewarna makanan atau cat tembok, warna untuk kain batik juga dapat diciptakan dengan formula khusus. 1. Pewarna Buatan Batik – Zat Napthol Zat pertama yang terkenal adalah zat Napthol. Sifatnya yang tidak larut dalam air, dibantu dengan zat lainnya seperti kostik. Teknik pecelupan zapthol dibagi menjadi dua cara. Yang pertama pencelupan dengan napthol sendiri yang dapat menghasilkan warna apapun. Napthol yang dipakai untuk biasanya adalah napthol AS, napthol AS-G, napthol AS-OL, dll. Tahapan yang kedua adalah membangkitkan warnanya dengan garam diazonium. Garam yang dipakai biasanya garam biru C, garam biru BB, garam merah B, dll. 2. Pewarna Buatan Batik – Indigosol Zat pewarna kedua yang lazim dipakai adalah pewarna indigosol. Biasanya indigosol dipakai karena memiliki ketahanan akan kelunturan yang kuat, sifat warnanya yang rata dan tergolong berwarna cerah. Kelebihan lainnya adalah harganya yang murah dan gampang didapatkan. 3. Pewarna Buatan Batik – Remasol Zat yang terakhir adalah remasol. Remasol adalah zat pewarna sintetis yang digunakan untuk teknik mencolet pada batik. Sifat dari zat ini adalah larut dalam air. Sifat utamanya tahan dari kelunturan, memiliki daya afinitas yang rendah.
1 Pewarna Alami Batik - Kunyit. Pewarna alami kain batik yang pertama adalah kunyit. Kunyit dikenal sebagai bumbu dapur untuk memasak makanan atau juga untuk obat yang memiliki khasiat yang sangat banyak. Tidak hanya itu, kunyit ternyata juga dapat dijadikan pewarna untuk batik, yang banyak menghasilkan warna kuning pada batik.
Pewarna batik adalah salah satu faktor yang menunjang pembuatan sebuah batik. Dahulu hanya dikenal pewarna alami, namun sekarang telah dikenal berbagai zat sintetis/kimia untuk mewarnai batik. Penggunaan pewarna alami tentu tidak lepas dari ilmu pengetahuan dan kearifan yang dimiliki nenek moyang kita. Sedangkan, munculnya pewarna kimia adalah simbol dari kemajuan teknologi dan perkembangan Industri batik. Berbagai keunggulan dan kekurangan dimiliki pewarna alami dan sintetis/kimia. Pewarna alami terkenal dengan keramahan lingkungan, namun memiliki jumlah yang terbatas. Sedangkan pewarna sintetis/kimia sangat menguntungkan untuk industri, walaupun memiliki dampak pada pencemaran lingkungan. Artikel ini akan mengulas tentang berbagai hal tentang pewarna batik. Mari disimak! Pewarna Batik alami adalah pewarna yang dihasilkan dari berbagai tumbuhan dan bahan-bahan alami lainnya. Apakah bisa tumbuh-tumbuhan menjadi zat pewarna pada kain? Contoh yang dapat terjadi sehari-hari adalah ketika baju kita terkena tumpahan atau cipratan kuah soto. Kuah soto biasanya berwarna kuning, warna kuning itu berasal dari kunyit. Jika kuah soto terciptrat atau tertumpah di baju atau celana yang berwarna putih. Maka baju atau celana yang terciprat itu akan mempunyai noda kuning ketika air kuah itu kering. Kira-kira seperti itu lah pewarna alami. Sebenarnya, pengetahuan akan pewarna alami telah dikenal sejak zaman dahulu. Pengetahuan itu telah diaplikasikan ke berbagai hal, salah satunya adalah membatik. Untuk mengingatkan, proses pembuatan batik yang ditulis ataupun dicap keduanya memiliki tahapan pewarnaan. Pada proses ini lah, zat-zat pewarna dicampur dengan air dan diaduk bersama kain yang telah dilapisi lilin. Kenali perbedaan batik tulis, cap dan print dalam artikel ini! Pengetahuan pewarnaan alam ini berbeda di satu tempat dengan tempat yang lain karena para pembatik menggunakan bahan pewarna yang tersedia di lingkungannya. Mari kita kenali tumbuhan-tumbuhan apa saja yang dapat menghasilkan warna-warna untuk batik Kunyit Kunyit, tumbuhan yang memiliki sejuta manfaat. Sumber Kunyit yang juga disebut kunir Curcuma longa, Curcuma domestica adalah tanaman rempah-rempah yang tumbuh di Indonesia. Kunyit dalam pewarnaan menghasilkan warna kuning. Selain, menjadi bahan pewarna kunyit memiliki banyak manfaat untuk kesehatan dan bumbu masak. Kulit Akar Mengkudu Kulit akar mengkudu yang telah dipotong-potong untuk dijadikan pewarna batik. sumber Kulit akar mengkudu Morinca citrifolia dikenal juga sebagai noni, pace atau bentis dalam bahasa Jawa. Dalam pewarnaan menghasilkan warna merah cerah. Tumbuhan ini juga memiliki banyak manfaat, buahnya terkenal sebagai obat herbal untuk sakit kanker, loh. Kulit Pohon Mundu Pohon Buah Mundu, bentuknya yang bulat seperti apel membuat tanaman ini juga dinamakan Apel Jawa. Sumber Kulit pohon mundu Garcinia dulcis biasa disebut juga buah apel Jawa. Tanaman ini dapat menghasilkan warna hijau jika dicampur dengan air tawas. Air Tawas Tawas yang berbentuk kristal. sumber Air tawas sebenarnya biasa digunakan untuk penjernih air. Namun, jika digabungkan dengan kulit pohon mundu dapat menghasilkan warna hijau. Daun Nila Daun pohon nila. Sumber Danu nila Indofera atau yang disebut juga tarom dapat menghasilkan warna biru jika dicampur dengan air kapur. Kulit Buah Manggis Kulit buah manggis yang akhir-akhir ini terkenal sebagai obat herbal, ternyata juga bisa menjadi pewarna batik alami. Sumber Kulit buah manggis selain banyak mengandung khasiat untuk kesehatan, juga dapat menghasilkan warna. Beberapa warna yang dapat dihasilkan dari kulit buah manggis adalah merah, ungu dan biru. Buah manggis memiliki zat tannin, zat warna yang dimiliki tumbuhan, yang terbaik. Kulit Pohon Soga tingi Tumbuhan Soga tingi yang dapat digunakan kulit pohonnya sebagai pewarna alami batik. Sumber Kulit pohon soga tingi Ceriops tagal dikenal sebagai pewarna batik oleh sebagian besar pembatik. Warna yang dihasilkan oleh kulit pohon soga tingi bergantung dari proses pewarnaannya. Handayani PA menyebutkan dalam abstraksi esainya bahwa ekstrak kulit pohon soga tingi dapat memproduksi tannin zat warna pada tumbuhan jika dicampur dengan 96% ethanol dan memakan waktu selama 3 jam. Ekstrak kulit pohon soga tingi jika bercampur dengan tumbuhan tunjung menghasilkan warna hitam, jika bercampur dengan jeruk nipis menghasilkan warna cokelat, dan jika bercampur dengan tawas menghasilkan warna cokelat kemerah-merahan. Kulit Pohon Soga Jambal Pohon Soga Jambal. sumber Kulit Pohon Soga Jambal Pelthophorum Ferruginum memiliki 17,7% zat tanin. Warna yang dihasilkan dari kulit kayu jambal adalah cokelat kemerahan. Kayu Tegeran Kayu tegeran yang sudah dipotong-potong dan dikeringkan. sumber Kayu tegeran Cudraina Javanensis digunakan bersaman dengan kulit kayu soga untuk menghasilkan warna kuning. Kayu tegeran daapat digunakan sebagai pewarna batik yang memiliki kecerahan warna dan ketahanan luntur yang baik, menurut hasil penelitian Vivin Atika dan Irfa’ina Rohana Salma. Hasil penelitian tersebut terbit dalam jurnal Majalah Ilmiah Dinamika Kerajinan dan Batik Vol. 34 No 1 tahun 2017. Untuk lebih lengkapnya silahkan klik di sini. Kesumba Pohon Kesumba. Sumber Kesumba Bixa Orelana adalah tanaman yang berasal dari Mediterania. Buah kesumba dapat dijadikan sumber pewarna alam. Selain dapat digunakan untuk pewarna batik, buah kesumba juga bisa digunakan untuk berbagai macam bahan pewarna, seperti makanan, kosmetik dan sabun. Daun Jambu Biji Daun jambu biji. selain dapat mengatasi diare juga bisa menjadi pewarna batik. sumber Jambu biji Psidium Guajava sangat bermanfaat bagi tubuh. Daunnya pun telah diketahui menjadi obat diare sejak zaman orang tua dahulu. Ternyata, daunnya juga dapat menjadi sumber pewarna alami. Zat warna yang dihasilkan dari daun jambu biji adalah warna hijau kecoklatan. Beberapa mahasiswa UNY telah meriset tentang hal ini. Lengkapnya silahkan cek di sini. Ekstrak daun teh Daun teh ternyata juga bisa menjadi sumber pewarna alami. sumber Teh tentu biasa kita lihat sehari-hari. Ternyata, selain dapat diminum, daun teh juga bisa menjadi sumber pewarna alami. Ekstrak daun teh dapat menghasilkan warna merah kecokelatan. Terdapat hasil penelitian mengenai teh sebagai sumber pewarna alam. Untuk lebih lanjut, silahkan baca di tautan berikut ini. Bagian-bagian Tanaman Bakau Tanaman Bakau Mangrove, selain memiliki manfaat sebagai penjaga ekosistem bawah air juga dapat menjadi bahan pewarna alam. Seperti yang tertulis di buku Keeksotisan Batik Jawa Timur Memahami Motif dan Keunikannya. Di daerah Kedung Baruk, kecamatan Rungkut, Surabaya para pengrajin batik dapat menggunakan beberapa bagian tanaman bakau sebagai sumber pewarna alam. Penggunaannya dicampur dengan berbagai zat lainnya seperti caping bunga dan bruguira untuk menghasilkan warna merah dan mencampur kunyit, getah nyamplung dan gambir untuk menghasilkan warna kuning. Dr Ir Delianis Pringgenies MSc juga pernah mempraktikan cara pengolahan tanaman bakau sebagai sumber pewarnaan alami. sila di cek di tautan berikut ini. Dari sekian banyak tanaman sumber pewarnaan alami yang telah diulas, mereka juga memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan pewarna alami, di antaranya Ramah lingkungan; Kombinasi warnanya bersifat lembut, harmonis, dan tidak bertabrakan; Disertai dengan aroma yang khas; Kain batik yang menggunakan pewarna alami memiliki harga yang lebih tinggi Kekurangan pewarna alami, antara lain Variasi warna yang sangat terbatas; Bahan pewarna harus diolah terlebih dahulu, cukup memakan waktu; Proses pewarnaan pun perlu diulang-ulang untuk mendapatkan warna sesuai selera; Warna yang dihasilkan tidak tahan terhadap sinar matahari, jika terlalu sering dipakai di kegiatan luar ruangan dapat membuat warna gelap menjadi pudar; Membutuhkan modal yang besar menggunakan pewarna alami. Pewarna Batik Sintetis/Kimia Pewarna batik sintetis/kimia muncul seiring dengan perkembangan industri batik. Penggunaan pewarna alami memakan waktu dan biaya yang cukup tinggi. Untuk produksi yang jauh lebih besar, dibutuhkan sebuah pewarna yang dapat menunjang produktivitas. Seperti yang tercatat pada buku Keeksotisan Batik Jawa Timur Memahami Motif dan Keunikannya, Zat pewarna kimia ini pertama kali diperkenalkan oleh pedagang Tionghoa sekitar awal abad ke-20. Pewarna kimia pun juga memiliki spesifikasi yang berbeda. Tergantung dengan harganya. Untuk yang mahal, warna yang dihasilkan jauh lebih bagus. Ketimbang, yang murah. Beberapa pewarna batik kimia, di antaranya Naphthol Bubuk Napthol memiliki berbagai macam warna. sumber Napthol adalah jenis pewarna yang susah larut di air. Untuk menggunakannya dapat melarutkan dengan air panas dan diberi sedikit Caustic Soda. Beberapa jenis Napthol yang ada di pasaran adalah Naphthol AS, Naphtol ASG, Napthol ASBU, Napthol ASGR, Naphtol ASOL, Napthol ASWR, Naphtol ASBR dan sejenisnya. Tahapan penggunaan Napthol di antaranya Kain dicelupkan ke dalam air panas yang mengandung Napthol dan Caustic soda. Pada tahap pencelupan pertama warna belum timbul pada kain. Kain yang telah melewati proses pertama dicelupkan kembali ke dalam laurtan garam diazodium yang sesuai dengan warna yang diinginkan. Ketebalan warna yang dihasilkan pada jenis zat pewarna kimia naphtol ini tergantung dari kadar Napthol yang diserap oleh kain. Biasanya penggunaan napthol hanya pada proses pencelupan tidak untuk mencolet atau mengkuas. Indigosol Bubuk indigosol. sumber Indigosol adalah jenis pewarna sintetis/kimia yang mudah larut di air. Ketika kain dicelupkan ke dalam air yang telah dicampur Indigosol, hanya akan timbul warna yang samar. Kain harus dioksidasi dengan zat Natrium Nitrit NaNo2 lalu dicelupkan ke dalam larutan HCI atau H2SO4 untuk memunculkan warnanya. Indigosol dapat digunakan pada proses pencelupan dan mencolet sekaligus. Remazol Remazol termasuk dalam jenis zat warna reaktif. Maksudnya adalah dapat beraksi dan mengadakan ikatan langsung dengan serat sehingga menjadi bagian serat itu sendiri. Penggunaan remazol pada batik bisa dalam proses pencelupan, coletan dan kuasan. Karakteristik zat ini di antaranya mudah larut dengan air; warna yang bagus dengan ketahanan luntur yang baik, daya afinitas rendah. Penggunaan remazol dapat menggabungkan natrium silikat untuk menjaga warna. Kekurangan dan kelebihan pewarnaan ini terletak dalam kacamata bidang industri. Kelebihan yang paling utama adalah unggul dari berbagai bidang produksi, seperti mudah didapatkan, cepat teraplikasi pada kain, tersedia dalam jumlah yang banyak. Kekurangannya adalah risiko penggunaan bagi lingkungan sekitar. Penggunaan zat pewarna kimia yang berlebihan dapat mencemarkan lingkungan, membahayakan kehidupan manusia dan alam. Penutup Kedua jenis zat pewarna ini mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun, opini penulis adalah lebih baik menggunakan zat pewarna alami. Tentunya, penggunan zat pewarna alami harus melibatkan segenap pihak. Membuat sistem yang baik terhadap sumber daya pewarna alam, yang di dalamnya termasuk produksi, distribusi, penelitian dampak terhadap lingkungan, dan lain-lain. Penulis berharap. Jika seluruh pihak bergerak dalam bidang ini, maka mampu menciptakan ekosistem kebudayaan yang baik. Di mana semua pihak merasakan manfaatnya. Kelestarian budaya terjaga, masyarakat pendukungnya sejahtera, dan alam pun terawat baik.
Dimana menggunakan warna-warna yang cerah, seperti biru, merah, kuning, hijau dan sebagainya. 2. Batik Tujuh Rupa. Salah satu produk batik karya Pekalongan yaitu Batik Tujuh Rupa. Seperti pada namanya, batik ini memiliki beberapa gabungan motif dan warna dalam satu karya. Sehingga motif yang di hasilkan nampak ramai.
- Proses pewarnaan kain batik umumnya dilakukan dengan menggunakan pewarna kimia. Namun kini semakin populer pula proses pewarnaan yang menggunakan bahan baku dari alam. Dengan menggunakan pewarna alam ini, proses pembuatan batik tentunya menjadi lebih ramah memperkenalkan proses pewarnaan alam ini, Komunitas Klasik Indonesia mengadakan workshop “Ikat Celup dengan Pewarna Alam” di Museum Tekstil Indonesia, Jakarta, beberapa waktu lalu. Dalam workshop yang merupakan salah satu rangkaian program bertema “Dari Wanita untuk Karya dan Alam Indonesia” ini dijelaskan pula berbagai kelebihan dari zat pewarna pewarna alami umumnya berasal dari tumbuh-tumbuhan, seperti kayu, kulit kayu, akar, kulit akar, biji, kulit biji, daun, maupun bunga. Proses pewarnaan dengan menggunakan zat warna alam memang lebih rumit jika dibandingkan dengan menggunakan zat pewarna sintetis. Sebab, prosesnya harus dilakukan berulang kali untuk mendapatkan warna seperti yang diinginkan. Namun warna-warna yang dihasilkan memang cenderung menjadi lembut serta bersifat unik dan eksklusif. Karakteristik dari tumbuhan dan faktor lingkungan lah yang mempengaruhinya. Masalahnya, tak semua bahan tekstil bisa diwarnai dengan zat pewarna alam. Bahan yang bisa digunakan adalah yang berasal dari serat alam seperti sutera, wol, dan kapas katun. Sedangkan bahan-bahan dari serat sintetis seperti polyester atau nilon tidak memiliki afinitas, atau daya tarik, terhadap zat warna alam sehingga bahan-bahan ini sulit diwarnai dengan zat warna alam. Bahan dari sutera umumnya memiliki afinitas paling baik terhadap zat warna alam dibandingkan dengan bahan dari kapas. Benny Gratha, volunteer Museum Tekstil Indonesia, lalu membeberkan pula tahap-tahap pewarnaan alam tersebut1. MordantAgar warna dapat menempel dengan baik, kain yang akan diwarnai harus di-mordant terlebih dahulu. Proses mirdant dilakukan dengan merendam bahan ke dalam garam-garam logam seperti tawas. Zar-zat mordant ini berfungsi untuk membentuk jembatan kimia antara zat warna alam dengan serat sehingga afinitas daya tarik zat warna meningkat terhadap serat, dan berguna untuk menghasilkan kerataan dan ketajaman warna yang baik. Sebelum dilakukan proses mordant, kain terlebih dahulu dicuci dan direndam dalam air sabun selama 12 jam, kemudian dibilas dan Ekstraksi dan pewarnaan Proses pembuatan larutan zat warna alam adalah proses untuk mengambil pigmen-pigmen penimbul warna yang berada di dalam tumbuhan, baik yang terdapat pada daun, batang, buah, bunga, biji, maupun akar. Proses pengambilan pigmen zat warna alam disebut proses ektraksi, dilakukan dengan cara merebus bahan dengan Fiksasi Fiksasi merupakan proses untuk memperkuat warna agar tidak luntur. Fiksasi dapat dilakukan dengan beberapa bahan seperti tawas, kapus, atau tanjung. Masing-masing bahan mempunyai karakteristik yang berbeda terhadap workshop ini, pewarnaan alam dikombinasikan dengan teknik ikat yang menghasilkan motif serta gradasi warna yang memikat. Ingin tahu bagaimana cara membuat motif ikat celup tie dye, baca juga Serunya Belajar Bikin Motif "Tie Dye". Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.difokuskanpada penerapan unsur warna pada batik klasik pedalaman. Sudah barang tentu penerapannya bukan hanya permasalahan sajian secara visual semata, akan tetapi juga berkaitan dengan maksud dan tujuan yang khusus pula. Batik klasik atau secara spesifik adalah batik klasik pedalaman, dikenal dengan gaya Yogyakarta dan Surakarta. Masing-masing
warna pada batik klasik lebih condong pada warna warna gelap sebut contoh warna pada batik klasik1. warna pada batik klasik lebih condong pada warna warna gelap sebut contoh warna pada batik klasik2. warna pada batik klasik lebih condong pada warna warna gelap sebut contoh warna pada batik klasik3. untuk batik klasik ,zat pewarna daun jati muda dapat memberikan warna ?4. warna hijau pada batik klasik terbuat dari5. warna warna batik klasik6. warna hijau pada batik klasik terbuat dari7. warna merah pada batik klasik di buat dari8. warna hijau pada batik klasik dibuat dari9. Apa yang dimaksud dengan warna klasik dalam membatik10. batik klasik pewarnaannya menggunakan zat warna..? a. alam b. naptol c. bijan d. indigosol e. garamjawab ya plisss11. warna kuning pada batik klasik dibuat dari12. ciri pewarnaan batik klasik cenderung13. pada batik klasik pewarna coklat dibuat dari14. batik klasik pewarnaannya menggunakan zat warna..? a. alam b. naptol c. bijan d. indigosol e. garamjawab ya plisss15. warna hijau pada seni batik klasik adalah?16. warna hijau pada seni batik klasik di buat dari?17. Untuk batik klasik,zat pewarna daun jati muda dapat memberikan warna 18. warna hijau pada batik klasik dibuat dari19. 30. Batik pesisir bertolak belakang dengan batik klasik, hal ini dikarenakan ..A batik pesisir cenderung bersifat naturalisB. batik pesisir suka menggunakan warna gelapC. batik klasik suka menggunakan warna terangD. batik klasik mendapat pengaruh dari budaya Eropa dan Cina20. ciri batik klasik warnanya cenderung.... 1. warna pada batik klasik lebih condong pada warna warna gelap sebut contoh warna pada batik klasikHal tersebut karena Coraknya Mempunyai Arti Simbolik Pada Masing-Masing MotifnyaWarna Cenderung GelapMotif Biasanya Mempunyai Ciri Khas daerah Asal Batik Tersebutsemoga membantuJawabanBatik klasik yaitu motif lebih condong pada motif-motif geometris, pewarna yang kalem, serta lebih condong pada warna gelapContoh warna gelap adalah Cokelathitam biru tuadan merah 2. warna pada batik klasik lebih condong pada warna warna gelap sebut contoh warna pada batik klasikJawabanperpaduan warna hitam, putih, coklat 3. untuk batik klasik ,zat pewarna daun jati muda dapat memberikan warna ? Cokelat kehitaman, Maaf kalau salah.. Menghasilkan Warna Coklat Kehitaman 4. warna hijau pada batik klasik terbuat dari daun2an yang lebih bayak di pakai menggunakan daun pandan 5. warna warna batik klasikJawabancoklat tua muda hijau pupus tua muda busuk lumutmerah merona gowok tua 6. warna hijau pada batik klasik terbuat dari zat pewarna diperoleh dari alam,misalnya warna hijau dibuat dari daun jarak kepyar,warna merah dari daun jati mudamaaf kalau salah v 7. warna merah pada batik klasik di buat dari terbuat dari akar pace atau mengkudu terbuat dari mengkudu 8. warna hijau pada batik klasik dibuat dari warna hijau menggunakan daun suji atau daun jarak kepyar 9. Apa yang dimaksud dengan warna klasik dalam membatikJawabanBatik Klasik adalah batik yang dihasilkan melalui proses menghias kain atau bahan lain dengan malam atau lilin sebagai perintang warna untuk membentuk motif atau ragam hias menggunakan canting. Jadi Batik Klasik adalah Batik Tulis juga. Namun, Batik Klasik merupakan Batik Klasik yang bernilai seni tinggi, karena mengangkat nilai-nilai masa lampau yang indah tak lekang oleh 10. batik klasik pewarnaannya menggunakan zat warna..? a. alam b. naptol c. bijan d. indigosol e. garamjawab ya plisss b. naptol ................ 11. warna kuning pada batik klasik dibuat dariJawabanwarna alami kuning dihasilkan dari parutan kunyit yang direbus 12. ciri pewarnaan batik klasik cenderungjawaban Coraknya Mempunyai Arti Simbolik Pada Masing² MotifnyaWarna Cenderung GelapMotif arti Biasanya Mempunyai Ciri Khas daerah Asal Batik bermanfaat pakai logika Good Luck Guys... 13. pada batik klasik pewarna coklat dibuat dariJawabanGula merah maaf kalau salah 14. batik klasik pewarnaannya menggunakan zat warna..? a. alam b. naptol c. bijan d. indigosol e. garamjawab ya plisss D. indisolsemoga bermanfaat Batik klasik pewarnaannya menggunakan zat warna indigosol 15. warna hijau pada seni batik klasik adalah? daun jarak kepyar Semoga membantu 16. warna hijau pada seni batik klasik di buat dari? pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan misalnya pandan atau tumbuhan lainnya yang bisa menghasilkan pewarna hijau 17. Untuk batik klasik,zat pewarna daun jati muda dapat memberikan warna Warna Hijau daun Sorry klau slah ;warna merah.. klo gak salah maaf jga klo jawaban nya salah hanya ingin membantu tq 18. warna hijau pada batik klasik dibuat dari tanaman/daun hijau *maaf kalo salah*tinta yg dicampur pewarna hijau kalo salah maafin ya 19. 30. Batik pesisir bertolak belakang dengan batik klasik, hal ini dikarenakan ..A batik pesisir cenderung bersifat naturalisB. batik pesisir suka menggunakan warna gelapC. batik klasik suka menggunakan warna terangD. batik klasik mendapat pengaruh dari budaya Eropa dan CinaJawabana. batik pesisir cenderung bersifat naturalisPenjelasanBatik pesisir bisa dikatakan bertolak belakang dengan batik klasik. Motif batik pesisir cenderung bersifat naturalis, menggunakan warnawarna cerah seperti merah, biru, hijau, dan jingga. ... Selain itu, banyak ditemukan pengaruh budaya Eropa dan Cina pada motif pesisir. 20. ciri batik klasik warnanya cenderung.... Coraknya Mempunyai Arti Simbolik Pada Masing-Masing MotifnyaWarna Cenderung GelapMotif Biasanya Mempunyai Ciri Khas daerah Asal Batik Tersebut batik indonesia cenderung berwarna gelap... berbeda dengan batik luar negri yg sdikit terang berwarnadryersehingga dihasilkan serbuk zat warna. Dari 1 kg biji kesumba kering dihasilkan serbuk zat warna sebanyak 196,75 gram. Serbuk zat warna dilarutkan dalam aquadest kemudian digunakan untuk mencelup kain yang sudah dimordan dan diberi motif dengan lilin batik. Setelah itu kain difiksasi dengan variasi larutan fixer kapur, tawas, The natural dye extracted from Swietenia mahagoni was applied to silk batik. Mahagoni bark is known to contain dyestuff components such as flavonoids and tannins. The dye compound was extracted using water at pH values of 6 original pH extract, pH 2 acid, and pH 12 base at 100 °C for 1 hour. Variation of extraction pH values was carried out to determine the influence of temperature on the results of the extract. Batik dyeing was carried out at room temperature using dye products. The pre-mordanting and post-mordanting used were alum Al2SO4 The results showed that the dye product extracted in alkaline pH shows a high amount of tannins and flavonoids and the ability to color the silk batik better. The color direction is reddish-brown. The pH values of extraction do not affect the results of the colorfastness to washing test, which is on 4-5 good scale. A B S T R A K Pewarna alami yang diekstrak dari mahoni Swietenia mahagoni diaplikasikan pada kain batik sutra. Kulit kayu mahoni diketahui mengandung komponen zat warna berupa flavonoid dan tanin. Komponen zat warna diekstraksi menggunakan air pada pH 6, pH 2 asam dan pH 12 basa pada suhu 100 °C selama 1 jam. Variasi pH ekstraksi dilakukan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap hasil ekstrak. Pewarnaan dilakukan pada suhu ruang menggunakan pewarna hasil ekstraksi. Mordan awal dan mordan akhir yang digunakan adalah tawas Al2SO4 Ekstraksi pada pH basa terbukti meningkatkan jumlah zat tanin dan flavonoid yang terekstrak dan mampu mewarnai kain batik sutra dengan lebih baik. Arah warna yang dihasilkan adalah cokelat kemerahan. Derajat keasaman pH ekstraksi tidak berpengaruh pada hasil uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian, yaitu skala 4-5 baik. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free DOI Copyright © 2020 THE AUTHORS. This article is distributed under a Creative Commons Distribution-ShareAlike International online 30 Juni 2020 e-ISSN 2549-1490 p-ISSN 1978-287X JURNAL REKAYASA PROSES Research article / Vol. 14, No. 1, 2020, hlm. 74-81 Journal homepage Pengaruh pH Ekstraksi pada Pewarnaan Batik Sutera Menggunakan Pewarna Alami Kulit Kayu Mahoni Switenia Mahagoni Dwi Wiji Lestari*, Vivin Atika, Isnaini, Agus Haerudin dan Tin Kusuma Arta Balai Besar Kerajinan dan Batik, Kementerian Perindustrian Jl. Kusumanegara No. 7 Yogyakarta, 55166 *Alamat korespondensi dwiwijilestari Submisi 24 Februari 2020; Revisi 26 Mei 2020; Penerimaan 2 Juni 2020 A B S T R A C T The natural dye extracted from Swietenia mahagoni was applied to silk batik. Mahagoni bark is known to contain dyestuff components such as flavonoids and tannins. The dye compound was extracted using water at pH values of 6 original pH extract, pH 2 acid, and pH 12 base at 100 °C for 1 hour. Variation of extraction pH values was carried out to determine the influence of temperature on the results of the extract. Batik dyeing was carried out at room temperature using dye products. The pre-mordanting and post-mordanting used were alum Al2SO4 The results showed that the dye product extracted in alkaline pH shows a high amount of tannins and flavonoids and the ability to color the silk batik better. The color direction is reddish-brown. The pH values of extraction do not affect the results of the colorfastness to washing test, which is on 4-5 good scale. Keywords batik; natural dye; swietenia mahagoni A B S T R A K Pewarna alami yang diekstrak dari mahoni Swietenia mahagoni diaplikasikan pada kain batik sutra. Kulit kayu mahoni diketahui mengandung komponen zat warna berupa flavonoid dan tanin. Komponen zat warna diekstraksi menggunakan air pada pH 6, pH 2 asam dan pH 12 basa pada suhu 100 °C selama 1 jam. Variasi pH ekstraksi dilakukan untuk mengetahui pengaruhnya terhadap hasil ekstrak. Pewarnaan dilakukan pada suhu ruang menggunakan pewarna hasil ekstraksi. Mordan awal dan mordan akhir yang digunakan adalah tawas Al2SO4 Ekstraksi pada pH basa terbukti meningkatkan jumlah zat tanin dan flavonoid yang terekstrak dan mampu mewarnai kain batik sutra dengan lebih baik. Arah warna yang dihasilkan adalah cokelat kemerahan. Derajat keasaman pH ekstraksi tidak berpengaruh pada hasil uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian, yaitu skala 4-5 baik. Kata kunci batik; mahoni; pewarna alami Jurnal Rekayasa Proses, Vol. 14, No. 1, 2020, hlm. 74-81 1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang sangat potensial dalam penyediaan bahan baku dari alam karena memiliki sumber daya alam yang melimpah Rosyida dan Zulfiya, 2013. Menurut Hanum 2012 dalam Fauziah dkk.2016, kekayaan flora Indonesia ini sangat berpotensi untuk digunakan sebagai bahan pewarna alam pada kain tekstil. Pewarna yang diekstraksi dari sumber alam telah muncul sebagai pengganti penting untuk pewarna sintetis Ali dkk., 2016. Menurut Yernisa dkk. 2013, salah satu keunggulan dari pewarna alami adalah sifatnya yang tidak toksik, dapat diperbarui renewable, mudah terdegradasi dan ramah lingkungan. Penggunaan pewarna alami dari jenis kayu-kayuan saat ini telah banyak berkembang di Indonesia, baik untuk keperluan pewarnaan batik, tenun maupun tekstil Gala dkk. 2016 salah satu jenis kayu yang banyak terdapat di Indonesia dan mengandung bahan pewarna berkualitas tinggi adalah mahoni Swietenia mahagoni. Mahoni adalah tanaman tropis yang tumbuh baik di Indonesia dan banyak ditemukan di Sumatera, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Proses pengambilan senyawa pembawa warna dari kayu dan kulit kayu biasa dilakukan dengan cara ekstraksi. Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan menggunakan pelarut yang sesuai Mukhriani, 2014. Penggunaan jenis pelarut yang memiliki polaritas yang sama dengan senyawa pewarna akan memengaruhi efektivitas proses ekstraksi. Menurut Febriana 2016 kulit kayu mahoni mengandung flavonoid, tanin, dan kuinon yang semuanya merupakan senyawa pewarna. Flavonoid merupakan golongan terbesar senyawa fenol alam. Flavonoid dan tanin bersifat polar karena mempunyai sejumlah gugus hidroksil, sehingga akan mudah larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol dan air Arum dkk., 2012. Flavonoid dan tanin akan membentuk ion fenolat di dalam air. Tanin yang ditemukan di dalam tanaman terbagi atas tanin terhidrolisis ellagitanin dan tanin kental/proantosianidin dan tanin terkondensasi flavonoid tanin yang tidak dapat terhidrolisis Marnoto dkk., 2012. Tanin merupakan salah satu jenis flavonoid yang memberikan warna kuning. Tanin terkondensasi dalam biji kakao dengan adanya pemanasan dalam suasana asam akan terhidrolisis menjadi sianidin dan epikatekin, sedangkan jenis lainnya akan terhidrolisis menjadi antosianidin Bechtold dan Mussak, 2009. Tanin sangat baik dalam mengikat protein, alkaloid, karbohidrat dan logam-logam seperti besi, alumunium, tembaga, vanadium dan kalsium Gaffney dkk., 1986; Haslam, 1998 dan Porter, 1992 dalam Bechtold dan Mussak, 2009. Kelarutan tanin terkondensasi bergantung pada formasi ion fenolatnya Porter, 1992 dalam Bechtold dan Mussak, 2009. Di dalam asam, tanin terkondensasi mudah terdekomposisi menjadi flavan-3-ol dan kuinon metida Porter, 1992 dalam Bechtold dan Mussak, 2009. Tanin terhidrolisis juga lemah terhadap oksidasi pada pH tinggi dan terdegradasi menjadi asam galat Haslam, 1989 serta Hagerman dan Butler, 1989 dalam Bechtold dan Mussak, 2009. Berdasarkan penelitian Falah dkk. 2008 tiga senyawa flavonoid telah diisolasi dari ekstrak kulit kayu mahoni, yaitu katekin, epikatekin, dan senyawa baru turunan dari katekin yang diberi nama trivial swietemacrophyllanin. Jurnal Rekayasa Proses, Vol. 14, No. 1, 2020, hlm. 74-81 Kondisi asam atau basa dalam ekstraksi kayu mahoni dapat memengaruhi kadar tanin maupun flavonoid terekstrak yang akan memberikan perbedaan hasil dan kualitas aplikasi pewarna pada batik. Menurut Ali dkk. 2016, karena komponen pewarna alam termasuk dalam kelas tanin yang bersifat asam, maka peningkatan pH akan dapat meningkatkan proses pelindiannya ke media ekstraksi. Alkalinitas dalam larutan menarik lebih banyak komponen pewarna selama ekstraksi dan menyebabkan netralisasi tanin. Penambahan basa natrium hidroksida NaOH diharapkan dapat meningkatkan jumlah tanin dan flavonoid yang terekstrak dalam pelarut Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pH ekstraksi kayu mahoni dengan menggunakan pelarut air terhadap kualitas ekstrak dan hasil aplikasi pewarnaannya pada batik. 2. Metode Penelitian Bahan Penelitian Bahan yang digunakan adalah kulit kayu mahoni Swietenia mahagoni yang diperoleh dari pasar lokal di Yogyakarta, akuades sebagai pelarut, kain sutra, lilin batik, Turkish Red Oil TRO, tawas Al2SO4 soda abu Na2CO3, asam klorida HCl dan soda api NaOH. PenelitianPeralatan yang digunakan adalah ekstraktor warna alam, bak pencelupan, gelas laboratorium, timbangan analitik, termometer, indikator pH universal, dan alat pembatikan. Instrumen uji yang digunakan di antaranya spektrofotometer UV-Vis Shimadzu 2401 PC S dan alat uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian. Cara Penelitian Ekstraksi warna alam kulit kayu mahoni Sebanyak 500 g kulit kayu mahoni dan 5000 ml akuades dimasukkan ke dalam alat ekstraktor tertutup yang dilengkapi dengan pengontrol suhu. Ektraksi dilakukan selama 1 jam pada suhu terukur 100 °C. Selanjutnya pH asli larutan ekstrak warna diukur dan dilakukan penambahan sejumlah HCl dan NaOH untuk mencapai kondisi asam pH 2 dan basa pH 12. Larutan ekstrak didinginkan lalu disaring, dan setelah itu siap digunakan untuk pewarnaan batik. Pengujian fitokimia Uji fitokimia merupakan salah satu cara untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada suatu tanaman yang sangat berguna dalam menentukan golongan utama dari senyawa bioaktifnya Yusro, 2011. Penentuan komponen kimia dalam ekstrak mahoni dilakukan dengan metode spektrofotometri UV-Vis, meliputi kandungan flavonoid total dan tanin total. Analisis kuantitatif senyawa flavonoid total dengan menggunakan spektro-fotometri UV-Vis Analisis dilakukan untuk mengetahui kadar flavonoid total yang terkandung di dalam ekstrak pewarna alami mahoni. Pada penelitian ini untuk menentukan kadar flavonoid total di dalam sampel digunakan kuersetin sebagai larutan standar. Pengukuran absorbansi larutan standar kuersetin dilakukan pada panjang gelombang maksimum 435 nm. Pengukuran hasil baku kuersetin diplotkan antara kadar dan absorbannya dalam bentuk kurva. Persamaan kurva kalibrasi kuersetin dapat Jurnal Rekayasa Proses, Vol. 14, No. 1, 2020, hlm. 74-81 digunakan sebagai pembanding untuk menentukan konsentrasi senyawa flavonoid total pada ekstrak sampel. Analisis kuantitatif senyawa tanin total dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis Penentuan kadar tanin total pada sampel digunakan asam tanat sebagai larutan standar. Pengukuran absorbansi larutan standar asam tanat dilakukan pada panjang gelombang maksimum 649,9 nm. Hasil pembacaan absorbansi digunakan untuk pembuatan kurva kalibrasi standar terhadap konsentrasi dari larutan standar asam tanat yang digunakan sebagai pembanding untuk menentukan konsentrasi tanin total pada ekstrak sampel. Proses pewarnaan batik Proses pewarnaan menggunakan pewarna alami pada kain batik diawali dengan mordan awal kain polos sebelum proses pembatikan. Kain dimasukan ke dalam larutan mordan tawas dan soda abu lalu diproses pada suhu 80 °C selama 1 jam, kemudian dibiarkan terendam selama 12 jam pada suhu kamar. Kain dibilas dengan air lalu dikeringkan. Setelah dilakukan proses pembatikan, kain dicelup ke dalam larutan warna selama ±5 menit untuk sekali pencelupan dan diulang sebanyak 6 kali lalu diakhiri dengan proses mordan akhir. Proses mordan akhir dilakukan dengan cara merendam kain terwarnai pada larutan tawas selama ±2–4 menit sampai merata, lalu dibilas dengan air dan dikeringkan. Proses pewarnaan batik Pengujian ketuaan warna dilakukan dengan spektrofotometri UV-Vis untuk mengetahui banyaknya zat warna yang terserap dalam bahan yang dinyatakan dengan nilai ketuaan warna berdasarkan persamaan Kubelka-Munk Persamaan 1. 1 Keterangan K Koefisien penyerapan cahaya S Koefisien penghamburan cahaya R % reflektansi Pengujian ketahanan luntur warna terhadap pencucian Pengujian ketahanan luntur warna kain terhadap pencucian didasarkan pada SNI ISO 105-C062010, Tekstil - Cara uji tahan luntur warna - Bagian C06 Tahan luntur warna terhadap pencucian rumah tangga dan komersial. Pengujian dilakukan pada kondisi alat, suhu, waktu dan deterjen tertentu sesuai dengan cara pengujian yang telah ditentukan. Penilaian dilakukan dengan membandingkan contoh yang telah diuji dan penodaan warna pada kain putih. Perubahan warna pada contoh dinilai dengan grey scalesedangkan penodaan warna dinilai dengan staning scale. Hasil evaluasi tahan luntur warna terhadap angka-angka grey scaledan staining scale ditunjukkan pada Tabel 1. 3. Hasil dan Pembahasan Pengujian fitokimia ekstrak warna alam Uji fitokimia merupakan salah satu cara untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada suatu tanaman yang sangat berguna dalam menentukan golongan utama dari senyawa bioaktifnya Yusro, 2011. Penentuan komponen kimia dalam ekstrak mahoni dilakukan dengan metode spektrofotometri Jurnal Rekayasa Proses, Vol. 14, No. 1, 2020, hlm. 74-81 UV-Vis. Hasil uji fitokimia secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Evaluasi tahan luntur warna terhadap angka-angka gray scale dan staining scaleEvaluasi tahan luntur warna Tabel 2. Hasil uji fitokimia pada larutan ekstrak kulit kayu mahoni Flavonoid total ekuivalen quercetin%b/v Tanin total ekuivalen tannic acid% µg/ml Kandungan flavonoid total tertinggi diperoleh dari ekstrak menggunakan pelarut akuades dengan penambahan basa NaOH yaitu 8,90 %b/v. Hal ini terjadi karena flavonoid merupakan polifenol yang mempunyai sifat kimia senyawa fenol. Gugus fenol akan terionisasi menjadi ion fenolat pada kondisi basa. Kelarutan komponen pewarna meningkat karena meningkatnya ionisasi gugus hidroksil fenoksida dalam media basa/alkali. NaOH merupakan basa yang cukup kuat untuk dapat melarutkan hampir semua fenol yang sebelumnya tidak larut dalam air. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Carmona dkk. 2006 dan Silvianti dkk. 2017 bahwa senyawa fenol akan menjadi ion fenolat pada kondisi larutan pH alkali. Ketika fenol bereaksi dengan suatu basa, fenol akan diubah menjadi anion fenoksida C6H5O−, sehingga fenol akan terlarut dalam larutan basa sebagai garam fenoksida. Xu dkk. 2008 juga telah mengemukakan bahwa pada kondisi asam, fenol berada pada bentuk molekul, sedangkan pada kondisi basa, fenol berada dalam bentuk ion fenolat C6H5O−. Ketika atom hidrogen pada gugus –OH fenol terputus dan berubah menjadi ion fenolat C6H5O−, maka kelarutan dalam pelarut polar akan meningkat. Hal itulah yang menyebabkan jumlah flavonoid yang terlarut menjadi lebih banyak dengan adanya penambahan basa. Sama halnya dengan total flavonoid, total tanin terekstrak dari proses ekstraksi pada kondisi pH basa lebih besar dibandingkan pada kondisi pH asam. Hal ini disebabkan karena tanin juga merupakan senyawa polifenol berukuran besar yang mengandung cukup banyak gugus hidroksil yang kelarutannya meningkat pada kondisi basa. Kualitas hasil pewarnaan alami menggunakan kulit kayu mahoni Salah satu parameter uji kualitas dari aplikasi warna alam pada kain adalah ketahanan luntur warna. Pengujian ketahanan luntur warna kain terhadap pencucian didasarkan pada SNI ISO 105-C062010, Tekstil - Cara uji tahan luntur warna - Bagian C06 Tahan luntur warna terhadap pencucian rumah tangga dan komersial. Pembacaan hasil pengujian berupa skala abu-abu untuk penodaan Jurnal Rekayasa Proses, Vol. 14, No. 1, 2020, hlm. 74-81 warna dan perubahan warna, dengan nilai 1 jelek hingga 5 baik sekali. Tabel 3. Hasil uji ketahanan luntur warna terhadap sabun cuci Berdasarkan pada Tabel 3, kondisi pH tidak berpengaruh signifikan terhadap kualitas pewarnaan. Kualitas hasil pewarnaan dengan parameter uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian dari ekstraksi pewarna alami mahoni pada pH asam pH 2, netral pH 6 dan basa pH 12 adalah baik skala 4-5. Dengan adanya material mordan, kain batik yang telah melalui proses pelorodan, pencucian dan pengeringan di bawah sinar matahari terlihat tidak begitu signifikan mengalami degradasi warna. Hal ini terjadi karena kompleksitas antara logam mordan, pewarna dan serat, dapat melindungi kromofor dari degradasi fotolitik. Foton yang diserap oleh kelompok kromofor menghilangkan energi dengan beresonansi dalam enam cincin molekul, sehingga melindungi pewarna Khattak dkk., 2014. Selain itu, material serat sutra yang berstruktur molekul protein memiliki daya ikat yang baik dengan zat warna alam Agrawal dan Patel, 2002. Hal ini disebabkan oleh senyawa fenolik dari komponen zat warna yang dapat membentuk ikatan hidrogen dengan gugus serat protein karboksil. Lebih lanjut, muatan anionik pada gugus fenolik membentuk ikatan ionik dengan kationik gugus amino pada substrat protein. Jumlah flavonoid total dan tanin total dari hasil uji fitokimia merupakan gambaran dari jumlah zat warna terlarut dalam ekstrak mahoni yang digunakan untuk mewarnai kain batik. Ekstraksi pada suasana pH basa terbukti telah menghasilkan senyawa warna terlarut yang lebih banyak. Demikian pula nilai ketuaan warna dan spektrum hasil pewarnaan kain batik sutra pada suasana basa tampak lebih tinggi seperti yang disajikan pada Tabel 4. Nilai ketuaan warna tertinggi adalah kain hasil pewarnaan menggunakan ekstrak mahoni dengan pelarut akuades dalam kondisi basa pH 12 yaitu 25,24. Tabel 4. Hasil pewarnaan pada kain batik sutera Nilai ketuaan warna K/S Mordan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan intensitas warna Failisnur dkk., 2017. Adanya penambahan mordan tawas yang mengandung logam alumunium juga mampu meningkatkan ketuaan warnanya. Kehadiran gugus hidroksil atau karboksil dalam struktur pewarna mampu membentuk logam kompleks. Anion dari pewarna dan kation dari logam masing-masing memiliki daya tarik yang kuat terhadap amino bermuatan positif dan karboksil bermuatan negatif. Oleh karena itu, mereka membentuk ikatan ionik antara pewarna dan serat, logam dan serat, dan Jurnal Rekayasa Proses, Vol. 14, No. 1, 2020, hlm. 74-81 akhirnya pewarna dan ion logam. Kompleks pewarna-logam juga membentuk ikatan koordinat dengan kelompok amina sutra tanpa muatan −NH2. Reaksi kimia antara gugus fenolik dari tanin dari pewarna alami kayu mahoni pada serat protein dari kain sutra dengan adanya penambahan mordan tawas ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1. Struktur fenol dari tanin dengan Al dari mordan tawas dalam serat sutra Selain itu, satu molekul pewarna dapat membentuk satu ikatan dengan satu molekul serat. Akan tetapi satu molekul mordan dapat membentuk dua atau lebih ikatan dengan molekul pewarna yang dapat menaikkan serapan terhadap zat warna Ahmad dkk., 2011; Uddin, 2014. Hal ini merupakan keuntungan aplikasi mordan yang dapat meningkatkan kualitas hasil pewarnaan. 4. Kesimpulan Penambahan basa NaOH ke dalam larutan pada proses ekstraksi terbukti meningkatkan jumlah zat tanin dan flavonoid yang terekstrak dan mampu mewarnai kain batik sutra dengan lebih baik. Nilai ketuaan warna tertinggi adalah kain hasil pewarnaan menggunakan ekstrak mahoni dengan pelarut akuades dalam kondisi basa pH 12 yaitu 25,24. Arah warna yang dihasilkan adalah coklat kemerahan. Derajat keasaman pH ekstraksi tidak berpengaruh pada hasil uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian, yaitu skala 4-5 baik. Ucapan Terima Kasih Terima kasih disampaikan kepada Kepala Balai Besar Kerajinan dan Batik BBKB yang mendukung kegiatan penelitian ini. Daftar Pustaka Agrawal, B. and Patel, 2002, Studies on dyeing of wool with a natural dye using padding techniques, Man. Made. Text., 45. 237–241. Ahmad, Rahim, R., Ahmad, Kadir, and Misnon, 2011, The application of Gluta aptera wood Rengas as natural dye on silk and cotton fabrics, Univers. J. Environ. Res. Technol., 1 4, 545–551. Ali, S., Jabeen, S., Hussain, T., Noor, S. and Siddiqua, 2016, Optimization of extraction condition of natural dye from pomegranate peels using response surface methodology, Int. J. Eng. Sci. Res. Technol., 5 7, 542–548. Arum, Y., Supartono and Sudarmin., 2012, Isolasi dan uji daya antimikroba ekstrak daun kersen Muntingia calabura, J. MIPA, 35 2, 166–174. Bechtold, T. and Mussak, R., 2009, Handbook of Natural Colorants, John Willey&Sons, Ltd., New Jersey Carmona, M., Lucas, A. De, Valverde, Velasco, B. and Rodriguez, 2006, Combined adsorption and ion exchange equilibrium of phenol on Amberlite IRA-420, Chem. Eng. J., 117, 155–160. Jurnal Rekayasa Proses, Vol. 14, No. 1, 2020, hlm. 74-81 Failisnur, F., Sofyan, S. and Kumar, R., 2017, Efek pemordanan terhadap pewarnaan menggunakan kombinasi limbah cair gambir dan ekstrak kayu secang pada kain rayon dan katun, J. Litbang Ind., 7 2, 93–100. Falah, S., T, S. and T, K., 2008, Chemical constituents from Swietenia macrophylla Bark and their antioxidant activity, Pakistan J. Biol. Sci., 11 16, 2007–2012. Fauziah, Saleh, C. and Erwin., 2016, Ekstraksi dan uji stabilitas zat warna dari kulit buah alpukat Persea americana Mill dengan metode spektroskopi UV-VIS, J. Atomik., 1 1, 23–27. Febriana, Kusuma, Galan, S., and Mahfud, M., 2016, The effect of temperature on extraction of Swietenia Mahagoni by ultrasound – assisted extraction UAE method, ASEAN Journal of Chemical Engineering, 16 2, 44–49. Gala, S., Kusuma, H. S., Sudrajat, R. G., Febrilliant, D., Susanto and Mahfud., 2016, ekstraksi bahan pewarna alami dari kayu mahoni Swietenia Mahagoni menggunakan metode MAE microwave assisted extraction, J. Teknik Kimia., 111, 7-13. Khattak, Rafique, S., Hussain, T. and Bashir, A., 2014, Optimization of fastness and tensile properties of cotton fabric dyed with natural extracts of marigold flower Tagetes erecta by pad-steam method, Life Sci. J., 11 7s, 52–60. Marnoto, T., Haryono, G., Gustinah, D. and Putra, 2012, Ekstraksi tannin sebagai bahan pewarna alami dari tanaman putrimalu Mimosa pudica menggunakan pelarut organik, Reaktor, 14 1, 39–45. Mukhriani., 2014, Ekstraksi, Pemisahan senyawa, dan identifikasi senyawa aktif, J. Kesehat., 7 2, 361–367. Rosyida, A. and Zulfiya, A., 2013, Pewarnaan bahan tekstil dengan menggunakan ekstrak kayu nangka dan teknik pewarnaannya untuk mendapatkan hasil yang optimal, Jurnal Rekayasa Proses, 7 2, 52–58. Silvianti, F., Siswanta, D., Aprilita, and Kiswandono, 2017, Adsorption characteristic of iron onto polyeugenol-co-divinyl benzene from aqueous solution, J. Nat., 17 2, 108–117. Uddin, 2014, Effects of different mordants on silk fabric dyed with onion outer skin extracts, J. Text., 2014, 1-8 Xu, M., Zhou, Y. and Huang, J., 2008, Adsorption behaviors of three polymeric adsorbents with amide groups for phenol in aqueous solution, J. Colloid Interface Sci., 327, 9–14. Yernisa, Sa’id, and Syamsu, K., 2013, Aplikasi pewarna bubuk alami dari ekstrak biji pinang Areca catechu L. pada pewarnaan sabun transparan, J. Teknol. Ind. Pertan., 23 3, 190–198. Yusro, F., 2011, Rendemen ekstrak etanol dan uji fitokimia tiga jenis tumbuhan obat Kalimantan Barat, Tengkawang J. Ilmu Kehutan., 1 1, 29–36. A study on the adsorption characteristic of Iron onto Poly[eugenol-co-divinyl benzene] EDVB from aqueous solution has been conducted. EDVB was produced and characterized by using FTIR spectroscopy. The adsorption was studied by a batch method by considering the factors affecting the adsorption such as initial metal ion concentration, adsorption selectivity, and mechanism of adsorption using a sequential desorption method. The adsorption of Iron onto EDVB followed a pseudo-2 order kinetics model with the rate constant of 0,144 L2 mmol-1 min-1. The adsorption isotherm was studied with Tempkin, Langmuir and Freundlich models. The adsorption capacity Qmax obtained by Langmuir isotherms was while the equilibrium value was Lmg-1. A competitive adsorption study showed that EDVB is adsorbed selectively towards Iron rather than Chromium, Coppers and Cadmium ions. The interaction type of Iron onto EDVB was determined by a sequential desorption. Keywords Polyeugenol; divinyl benzene DVB; adsorption; Iron; Fe References • Abasi, C. Y.; Abia, Igwe, Adsorption of Iron III, Lead II and Cadmium II Ions by Unmodified Raphia Palm Raphia hookeri Fruit Endocarp. Environ. Res. 2011, 5 3, 104-113, ISSN 1994-5396, Medwell Journals. DOI • Baes, F. C.; Mesmer, R. E. The Hydrolisis of Cations; John Wiley New York, 1976 • Bakatula, Cukrowska, Weiersbye, L.; Mihali-Cozmuta, L.;Tutu, H. Removal of toxic elements from aqueous solution using bentonite modified with L-histidine. Water Sci. 70 12,2022-2030, DOI • Bhattacharyya, Gupta, Adsorption of FeIII from Water by Natural and Acid Activated Clays Studies on equilibrium isotherm, kinetics and thermodynamics of interactions. Adsorption. 2006, 12 3, 185-204,DOI • Carmona, M..; Lucas, Valverde, Velasco, B.; Rodriguez, Combined adsorption and ion exchange equilibrium of phenol on Amberlite Eng. 117, 155-160, Doi • Debnath, S.; Ghosh, Kinetics, isotherm and thermodynamics for CrIII and CrVI adsorption from aqueous solutions by crystalline hydrous titanium oxide. J. Chem. Thermodin. 2008, 40 67-77, DOI • Djunaidi, Jumina; Siswanta, D.; Ulbricht, M. Selective Transport of FeIII Using Polyeugenol as Functional Polymer with Ionic Imprinted Polymer Membrane Method. Asian J. Chem. 2015, 27 12 4553-4562, DOI • Febriasari, A.; Siswanta, D.; Kiswandono, Aprilita, Evaluation of Phenol Transport Using Polymer Inclusion Membrane PIM with Polyeugenol as a Carrier. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan. 2016, Vol. 11, No. 2, 99-106, DOI • Foldesova, M.; Dillinger, P.; Luckac, P. Sorption and Desorption of FeIII on Natural and chemically modified zeolite. J. Radioanal. Nucl. Chem. 1999, Vol. 242, No. 1 1999, 227-230, DOI • Gupta, S. Removal of cadmium and zinc from aqueous solutions using Sci. Technol. 2002, 36 3612-3617, DOI • Handayani, Sintesis kopolieugenol-DVB sulfonat dari Eugenol Komponen Utama Minyak Cengkeh Szygium aromaticum Synthesis of copolyeugenol-DVB sulfonic from main components of eugenol clove oil Szygium aromaticum. Biopharmacy Journal of Pharmacological and Biological Sciences. 2004, 2 2 53-57 ISSN 1693-2242. url • Harimu, L.; Matsjeh, S.; Siswanta, D.; Santosa, Synthesis of Polyeugenyl Oxyacetic Acid as Carrier to Separate Heavy Metal Ion FeIII, CrIII, CuII, NiII, CoII, and PbII that Using Solvent Extraction Mehod. Indo. J. Chem. 2009, 9 2 261-266. • Ho, McKay, G. Pseudo-second Order Model for Sorption Processes. Process. Biochem. 1999, 34, 451-465, DOI • Ho, McKay, G.; Wase, Study of Sorption Divalent Metal Ions on to Peat. Adsorpt. Sci. Technol. 2000, 18 639-650. DOI • Indah, S.; Helard, D.;Sasmita, A. Utilization of maize husk Zea mays L. as low-cost adsorbent in removal of iron from aqueous solution. Water Sci. Technol. 2016, 73 12, 2929-2935, DOI • Kiswandono, Siswanta, D.; Aprilita, Santosa, Transport of Phenol through inclusion polymer membrane PIM using copolyEugenol-DVB as membrane carries. Indo .J. Chem. 2012, 12 2 105-112. Doi • Kousalya, N.; Gandhi, Sundaram, Meenakshi, S. Synthesis of nano-hydroxyapatite chitin/chitosan hybrid bio-composites for the removal of FeIII.Carbohyd. Polym. 2010, 82 594-599, DOI • Kumar, Porkodi, K.;Rocha, F. Langmuir-Hinshelwood kinetics – A theoretical study, Catalysis Communications. 2008, 9 82-84, DOI • Masel, Principles Adsorption and Reaction on Solid Surface; John Wiley & Sons Canada, 1996 • Moore, J. W.; Pearson, Kinetics and Mechanism Third Edition; John Wiley & Sons Canada, 1981. • Ngah, Ghani, Kamari, A. Adsorption Behaviour of FeII and FeIII Ions in Aqueous Solution on Chitosan and Cross-linked Chitosan Beads. Bioresource. Technol. 2005, 96 443-450. DOI • Rahim, Sanda, F.; Masuda, T. Synthesis and Properties of Novel Eugenol-Based Polymers. Polymer Bulletin. 2004, Vol. 5, 93-100, DOI • Samarghandi, Hadi. M.; Moayedi, M.; Askari, 2009. Two Parameter Isotherms of Methyl Orange Sorption by Pinecone Derived Activated Carbon. Iran. J. Environ. Health Sci. Eng., 6 4 285-294. • Setyowati, L. 1998. Pengaruh Penambahan Divinil Benzena DVB pada Kopolimerisasi Kationik Poli[eugenol-co-divinil benzena] dan Sifat Pertukaran Kation Kopoligaramnya The Effect of divinylbenzene DVB Addition to Eugenol-DVB Cationic Copolymerization and Its Use As Cation-Exchanger, Thesis, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia. • Shi, T.; Jia, S.; Chen, Y.; Wen, Y.; Du, C.; Guo, H.; Wang, Z. Adsorption of PbII, CrIII, CuII, CdII and NiII onto a vanadium mine tailing from aqueous solution. J. Hazard. Mater. 2009, 169 838-846, DOI • Sun, S.;Wang, A. Adsorption Kinetics of CuII Ions Using N,O-Carboxymethyl-Chitosan. J. Hazard. Mater. 2006, B131 103-111, DOI • Sun, S.; Wang, L.;Wang, A. Adsorption Properties of Crosslinked Carboxymethyl-chitosan Resin With PbII as Template Ions. J. Hazard. Mater. 2006, B136 930-937, DOI • Uzun, I.; Guzel, F. Adsorption of Some Heavy Metal Ions from Aqueous Solution by Activated Carbon and Comparison of Percent Adsorption Result of Activated Carbon with those of Some Other Adsorbents. Turk. J. Chem. 2000, 24 291-297. • Zou, X.; Pan, J.; Ou, H.; Wang, X.;Guan, W.; Li, C.; Yan, Y.; Duan, Y. Adsorptive removal of CrIII and FeIII from aqueous solution by chitosan/attapulgite composites Equilibrium, thermodynamics and kinetics. Chem. Eng. J. 2011, 167 112-121, DOI dyes are synthetic organic dyes which have azo group -N=N- as chromophore. Waste of azo dyes have not been able to overcome completely so that requires solutions of natural dye. Raw material of natural dye can be obtained from Swietenia mahagoni. Natural dye can be extracted by ultrasound-assisted extraction UAE method. The pupose of this research is to study the factor that influence UAE. Observed factor is influence of extraction temperature to the yield of natural dye. This research was conducted using ratio of material to solvent of g/L with extraction time at 40 minute. Extraction temperature was observed at 30, 40, and 50 oC. Ultrasonic wave that used for this research at 40 kHz. The result is increasing temperature will be allow the increasing trend of yield. The result indicate that there is about improvement in the yield of extract due to increasing extraction temperature from 30 oC to 50 MarnotoGogot HaryonoDewi GustinahFendy Artha PutraEXTRACTION OF TANNINS AS NATURAL DYES FROM PUTRIMALU MIMOSA PUDICA PLANT USING VARIOUS ORGANIC SOLVENTS. Public awareness on using natural dyes has encouraged the extraction of tannins from putrimalu. Extraction was performed continuously using a Soxhlet apparatus. The parameter studied was the influence of solvent polarity on the amount of tannin and mass transfer coefficient. Tannin was extracted from ten grams of dried putrimalu plants using polar solvents ethanol, acetone and methanol and a non-polar solvent n-hexane. Extraction is considered complete when the concentration of tannins in the liquid is no longer changing with time. Liquid samples were withdrawn every 20 minutes interval for tannin analyses using Thin Layer Chromatography TLC. The results showed that the maximum concentration of tannins in the extract g/mL when extraction were performed using n-hexane was acetone methanol and ethanol From extract yield and mass transfer coefficient point of views, it can be concluded that the best solvent is ethanol. The relationship between tannin concentration in the ethanol 96% solvent and the time was expressed in term of mathematical equations CAL= with error was Where CAL is the concentration of tannins in the solvent g/ml and t is the extraction time minutes. Kesadaran masyarakat untuk kembali menggunakan bahan pewarna alami mendorong dilakukannya ekstraksi tannin dari putrimalu. Ekstraksi dilakukan secara kontinyu menggunakan alat Soxhlet. Parameter yang dipelajari adalah pengaruh polaritas pelarut terhadap ekstrak tannin dan koefisien transfer massa. Tannin diekstrak dari sepuluh gram tanaman putrimalu kering menggunakan pelarut polar etanol, aseton dan metanol dan pelarut non-polar n-heksana. Ekstraksi dianggap selesai jika konsentrasi tannin di dalam pelarut sudah tidak berubah. Tannin di dalam contoh cairan yang diambil setiap selang waktu 20 menit dianalisis menggunakan Thin Layer Chromatography TLC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi tannin maksimum g/mL yang terdapat dalam larutan yang mengandung ekstrak jika ekstraksi menggunakan n-heksana adalah 0,0031, aseton 0,016, metanol 0,0274 dan etanol 0,044. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditinjau dari perolehan ekstrak dan koefieisen perpindahan massa, maka pelarut yang terbaik adalah etanol. Hubungan antara konsentrasi tannin di dalam pelarut etanol 96% dan waktu dinyatakan dengan persamaan matematika CAL=1,0461-e-0, dengan kesalahan 3,6%. Dimana CAL adalah konsentrasi tannin dalam pelarut g/mL dan t adalah waktu ekstraksi menitApplication of natural dye powder from seeds of Areca catechu L. in transparent soap was studied. The objective of this study was to determine the effect of areca seeds extracted powder and the type of vegetable oil to the characteristics of transparent soap. Areca seed extracted powder being used in this study were areca extracted seed powder without a binder and areca seed extracted powder with a binder arabic gum 2% w/w. Two types of vegetable oil for making transparent soap were used in this study namely coconut oil and mixed of coconut oil and palm oil 155 w/w. As a control, there were transparent soaps made without addition of areca seeds powder. Transparent soap from all combinations of treatment had colour range yellow red. Mixed of coconut oil and palm oil 155 w/w gave higher foam stability and lower hardness than coconut oil but did not give significant effect on moisture content and pH value. Type of areca seeds extracted powder had no significant difference in moisture content, hardness and pH value but had significant effect on foam stability of transparent soap. The presence of arabic gum in areca seeds extracted powder enhanced foam stability of transparent soap from coconut oil and reduced color change in transparent soap after six months of new approach was investigated for appraising the fastness properties while maintaining/ upgrading the tensile strength of 100% cotton, light weight fabric samples, dyed with natural colourant of Marigold flower Tagetes erecta. Various dyeing formulas planned with the aid of different dyeing auxiliaries utilized as mordants, cross linkers, finishing agents and UV absorbers were applied by pad-steam two-bath-two-stage dyeing procedure. All the recipes were exercised both as pre and post treatments. Pretty yellow fabric samples resulted from the experiments having better colour fastness, enviable K/S value and adequate tensile strength. Some of the mordants such as FeCl3 and Al2SO43 produced samples of darker shades, entirely different from the yellow colour. The presence of CuSO4 in the dyeing recipe produced sample with bright yellow shade. This mordant was excelled by all other dyeing auxiliaries in enhancing not only the colourfastness but also presenting greater colour strength K/S value. Post treatment of a reactive UV absorber based on oxalinilide UV-SUN and fibre-reactive UV absorber Rayosan C heterocyclic compound imparted very good lightfastness 6 Blue Wool Standard. Crosslinking agent Fixapret CPF, methylolation product based on glyoxalmonourein resulted in remarkable improvement in crocking and light fastness of cotton. Fixative Albafix WFF quaternary ammonium compound was also found effective in acquiring very good rub fast cotton constituents of the bark of Swietenia macrophylla King Meliaceae was investigated not only to develop further bark utilization but also to understand the biochemical function of the bark in the forest environment. A new phenylpropanoid-substituted catechin, namely, swietemacrophyllanin [2R*,3S*,7"R*-catechin-8,7"-7,2"-epoxy-methyl 4",5"-dihydroxyphenylpropanoate] 1 was isolated from the bark of S. macrophylla together with two known compounds, catechin 2 and epicatechin 3. The structure of 1 was elucidated by spectroscopic data and by comparison of the NMR data with those of catiguanins A and B, phenylpropanoid-substituted epicatechins. The 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl DPPH free radical scavenging activity of the isolated compounds indicated that all of the three compounds have strong activity compared with trolox as a reference. Swietemacrophyllanin 1 had the strongest activity with a 50% inhibitory concentration IC50 value of 56 microg mL-1. Mancai XuYun ZhouJian-Han HuangEfficient removal of phenol and its derivatives from wastewater is of significant environmental concern. In the present study, the adsorption behaviors of three polymeric adsorbents with amide groups, PMVBA, PMVBC, and PMVBU, for phenol were investigated in aqueous solution. The adsorption in relation to the solution pH value was discussed and the neutral pH was optimum. The adsorption dynamic cure was determined and it was shown that the pseudo-second-order rate equation characterized the adsorption better and the intraparticle diffusion was the rate-limiting step. The adsorption isotherms were measured and correlated to Freundlich isotherms, and it was shown that PMVBU held the largest adsorption capacity. The adsorption thermodynamic parameters were calculated and it was seen that the adsorption enthalpy of phenol onto the three adsorbents follows the order PMVBU>PMVBA>PMVBC. Analysis of the adsorption mechanism suggested that hydrogen bonding played a predominant role and multiple hydrogen bonding was involved for phenol and dan uji stabilitas zat warna dari kulit buah alpukat Persea americana Mill dengan metode spektroskopi UV-VISN A FauziahC SalehErwinFauziah, Saleh, C. and Erwin., 2016, Ekstraksi dan uji stabilitas zat warna dari kulit buah alpukat Persea americana Mill dengan metode spektroskopi UV-VIS, J. Atomik., 1 1, Pemisahan senyawa, dan identifikasi senyawa aktifMukhrianiMukhriani., 2014, Ekstraksi, Pemisahan senyawa, dan identifikasi senyawa aktif, J. Kesehat., 7 2, bahan tekstil dengan menggunakan ekstrak kayu nangka dan teknik pewarnaannya untuk mendapatkan hasil yang optimalA RosyidaA ZulfiyaRosyida, A. and Zulfiya, A., 2013, Pewarnaan bahan tekstil dengan menggunakan ekstrak kayu nangka dan teknik pewarnaannya untuk mendapatkan hasil yang optimal, Jurnal Rekayasa Proses, 7 2, 52-58. .